Dikisahkan pada suatu ketika, ada seorang bapak yang mempunyai anak laki-laki semata wayang, katakanlah bernama Rudi. Rudi kini sudah tumbuh dewasa, namun ia sering melalaikan perintah Agama. Meskipun telah berbuih nasehat, suruhan dan perintah dari ayahnya agar Rudi shalat, puasa dan melaksanakan amal kebaikan lainnya, namun dia tetap meninggalkannya. Malahan dosa dan maksiat yang menjadi kebiasaannya.
Berjudi, mabuk-mabukan, dan seribu macam jenis kemaksiatan menjadi kebanggaan dan kebiasaannya. Suatu hari bapak tadi memanggil Rudi, anaknya dan berkata, “Anakku, kamu benar-benar telah lalai dan berbuat banyak kemungkaran. Mulai hari ini aku akan tancapkan satu paku di tiang di Ruangan tengah rumah kita itu, setiap kali kamu berbuat dosa dan maksiat,jujurlah kepadaku dan tolong ceritakan, maka aku akan benamkan satu paku ke tiang ini. Namun sebaliknya, setiap kali kamu berbuat satu kebaikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini.”
Setiap malam Rudi menulis di atas kertas dan ditaruh di meja Bapaknya setiap dosa dan maksiat yang ia lakukan. Bapaknya kemudian melakukan seperti apa yang dia janjikan, dan setiap hari dia akan memukul beberapa batang paku ke tiang rumahnya tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu hari. Namun kadang-kadang ia mencabut beberapa paku, sesuai kebaikan yang anaknya telah lakukan. Akan tetapi kalau dihitung-hitung, jarang sekali dia mencabut paku dari tiang.
Hari berganti, beberapa bulan berlalu, dari musim hujan berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun belalu.Tiang yang berdiri megah di ruangan tengah rumah tersebut kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku. Ada yang berkarat karena hujan dan panas.
Setelah melihat keadaan tiang yang bersusun dengan paku-paku yang merusak pandangan mata, kemudian timbulah rasa malu pada diri Rudi. Maka dia pun berjanji untuk memperbaiki dirinya sejak saat itu.
Mulai detik itu, Rudi berjanji akan meninggalkan dosa dan maksiat dan akan mulai melaksanakan shalat. Hari itu saja lima batang paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknya shalat lagi ditambah dengan shalat- shalat sunat. Lebih banyak lagi paku tercabut dari tiangnya.
Hari berikutnya Rudi tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Ia pun mulai rajin bersedekah, dan yang terpenting ia mulai mematuhi perintah orang tuanya. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Rudi lakukan dan semakin banyak maksiat yang ditinggal, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.
Kemudian ayahnyapun memanggil anaknya dan berkata: “Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan akan aku cabut sekarang. Tidakkah kamu gembira?”
Rudi merenung pada tiang tersebut, tapi dibalik rasa gembira sebagai yang diduga oleh ayahnya, dia mula menangis terisak-isak.
“Kenapa anakku?” tanya ayahnya,
“ku sangka engkau gembira karena semua paku-paku telah tiada.”
Dalam nada yang sayu Rudi mengeluh, “Wahai ayahku, sungguh benar kata bapak, paku-paku itu sudah tidak ada, tapi aku sedih sebab bekas-bekas lubang dari paku itu tetap ada di tiang, bersama dengan karatnya. Tidak pernah bisa hilang”
"Hiiks...hiiks", kali ini Rudi menangis dengan sungguh-sungguh
------------------------------
Sahabatku rahimakumullah,
Kisah yang sangat sarat lambang ini saya bagikan kepada anda untuk kita sama-sama renungi makna di balik kisah ini sebagai berikut:
Tanpa kita sadari, sejak muda kita sudah tancapkan paku-paku di tiang rumah kita sendiri dan kini paku-paku tersebut pasti sudah semakin banyak, seiring dengan tambahnya umur kita. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk mencabut paku-paku dari tiang rumah kita kita itu selain lakukanlah sekarang juga. Esok hari, paku-paku itu akan semakin banyak sementara tenaga kita akan semakin lemah untuk mencabutinya. Boleh jadi tidak seperti yang dilakukan Rudi yang berhasil mencabut habis pakunya, kita barangkali tidak ada daya lagi untuk mencabutnya hingga habis.
Sahabatku, sesungguhnya jumlah paku yang kita tancapkan bisa kita kurangi sejak dini bila kita sadar tentang kehadirannya. Paku-paku tersebut banyak sekali, yang kita tancapkan, diantaranya yang paling nyata di antaranya ialah paku akibat meninggalkan perintah-perintahNya seperti shalat, puasa dan zakat. Lebih parah lagi jika kita tambah dengan dosa serta maksiat yang menambah paku-paku itu seperti : minum-minuman keras, zina, mencuri atau jika kita suka menyakiti hati teman kita, suka mengumbar marah, hasad (dengki), ujub (sombong), riya’, ghibah, buruk lisan dan lain-lain.
Bilamana mulai timbul tanda-tanda paku-paku akan kita tancapkan di tiang kita, maka wajiblah kita berusaha sungguh-sungguh untuk mengurungkannya atau jika sudah terlanjur mencabutnya dengan segera melalui Taubat Nasuha dan Istighfar serta memohon maaf kepada yang menjadi korban akibat dosa dan maksiat yang kita lakukan. Jika kita terlanjur korupsi, maka tidak cukup hanya dengan taubat nasuha dan istighfar, tapi kita juga wajib mengembalikannya hasil korupsi yang telah kita curi itu dan meminta maaf.
Jangan pernah ditunda mencabutnya sampai esok hari. Jangan tunda segera mencabut paku-paku di tiang kita sampai banyak sementara kita terlalu tua dan tidak cukup waktu untuk mencabutnya kembali.
Sahabatku, tanpa kita sadari, dengan dosa-dosa dan kemaksiatan yang berulang kali dilakukan hingga menjadi suatu kebiasaan, boleh jadi pada saat yang sama kita bisa mengatasinya, atau secara berangsur-angsur menghapuskannya. Akan tetapi ingatlah bahawa bekas-bekasnya akan abadi.
Dari itu, hendaklah kita menyadari diri ini untuk setiap kita akan mulai melakukan suatu kemungkaran, dosa dan maksiat, maka bersegeralah untuk membatalkannya. Sebab setiap kali kita bergelimang dalam dosa dan kemungkaran, maka kita telah menanamkan paku-paku lagi yang akan meninggalkan bekas pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut di kemudian hari. Apalagi kalau kita biarkan paku berkarat dalam diri ini lambat untuk mencabutnya. Lebih parah lagi kalau dibiarkan berkarat dan tidak pernah kita cabut, hingga Allah mendahului dengan mencabut terlebih dahulu nyawa kita. Naudzubillah min dzalik.
Oleh : Imam Puji Hartono (Gus Im)
0 komentar:
Post a Comment